Blogger templates

Senin, 23 Januari 2012

Pengembangan Diri



Ada banyak cara dapat Anda lakukan untuk mengembangkan diri, antara lain:
1.Membaca
                Buku tentang pengembangan diri di berbagai bidang dengan mudah kita dapatkan, tentang berpikir positif, memperkuat ingatan, mengendalikan perasaan negative, meningkatkan reputasi diri dan sebagainya.
                Bacalah tema yang berkaitaan dengan dunia anda atau tema apa saja yang Anda sukai. Anda akan merasa bacaan itu bias membantu Anda mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih maju seperti yang Anda inginkan.
                Bacalah setiap hari, paling tidak dua puluh menit. Anda pasti akan merasakan perbedaan besar dalam pola piker dan perilaku Anda setelah Anda membiasakan diri.
2. Mendengarkan Audio
                Jika And asukan mendengar daripada membaca, dengarkanlah kaset tentang pengembangan diri. KAset pengembangan diritersebar luas di pasar dengan berbagai bahasa. Sebaiknya Anda membaca dan mendengarkan karena akan memperkuat perasaan Anda dan hidup Anda akan diisi oleh pikiran-pikiran positif. Tempat yang paling baik untuk mendengarkan adalah mobil.  Anda dapat mengisi waktu kosong dalam mobil dan mengubah mobil Anda menjadi tempat belajar keliling.
3. Menonton Video
                Ada orang lebih suka menonton video karena dapat melihat langsung penulis atau pembicara. Dengan begitu ia akan mendapatkan manfaat yang lebih banyak. Orang dengan tipe visual akan lebih suka melihat sesuatu daripada mendengarkan atau membaca.
4. KAjian Umum
                Anda dapat bergabung dengan orang-orang yang perhatian pada masalah pengembangan diri melalui kajian umum. Meskipun dalam seminggu sudah membaca sekitar lima buku, mendengarkan audio lima macam, menonton dua video. Namun lebih bagus dating ketempat kajian dan mengikuti pelatihan. Karena dengan demikian, dapat memperluas pengetahuan dengan berdiskusi bersama orang yang memiliki perhatian sama.
5. pelatihan
                Jika Anda ingin mendapatkan manfat yang lebih besar, pelatihan tentu menjadi pilihan tepat karena waktunya lebih lama: sehari, dua hari, atau bahkan lebih. Pelatihan lebih banyak memberikan informasi dan latihan yang padat. Itu sebabnya lebih mahal dibangkan kajian umum.

6. Pelatihan Secara RUtin
                Jika anda ingin mendapatkan manfaat yang lebih besar fan menjadi seorang yang ahli dalam bidang pengembangan diri maka pelatihan yang dilakukan secara intensif menjadi pilihan tepat bagi anda. Pelatihan seperti ini lebih banyak memberikan wawasan dan lebih mendalam. Setelah melakukan pelatihan sperti ini, Anda akan mendapatkan sertifikat yang dapat digunakan untuk masa depan Anda. Karena itu, pelatihan secara rutin akan menghabiskan biaya yang cukup besar.
                Tidak ada yang m,enghalangi orang untuk maju selain dirinya sendiri. Jika orang ingin memperbaiki diri, ia pasti selalu mendapatkan yang diinginkan.    

Selasa, 17 Januari 2012

7 Proyek Kontroversial DPR di Awal Tahun 2012

nie gue ambil dari detik.com
Berikut 7 proyek kontroversial yang dilakukan oleh para anggota dewan yang terhormat tersebut:

1. Perawatan Gedung DPR

Selain merenovasi perbagian, ternyata perawatan secara keseluruhan terhadap Gedung DPR juga dilakukan. Untuk tahun 2012 ini anggaran untuk perawatan gedung tersebut mencapai 500 miliar rupiah.

Dana sebesar ini menurut Wakil Ketua Banggar DPR asal PKS Tamsil Linrung digunakan untuk perawatan secara keseluruhan. Ia menambahkan anggaran 500 miliar ini sudah melalui tahapan efisiensi, karena sebelumnya dana yang diajukan mencapai 800 miliar rupiah.

2. Renovasi Ruang Rapat Anggota Banggar DPR

Para anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, akan segera menikmati ruang rapat yang baru. Setelah BURT DPR memastikan telah melakukan tender senilai 20 miliar rupiah pada Oktober 2011 lalu.

Renovasi ruang rapat Banggar ini menuai kecaman karena, spesifikasi yang dinilai terlalu mewah. Ruang rapat seluas 780 meter persegi, itu nantinya akan diisi dengan barang-barang kualitas nomor wahid.

3. Papan Selamat Datang DPR

Proyek lain yang mengundang decak kagum adalah pemasangan dua layar LED yang akan menampilkan wajah para pimpinan DPR dan juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota dewan.

Tidak tanggung-tanggung, biaya pemasangan layar berukuran 3x2 meter yang dipasang diatas tiang bulat setinggi 3 meter ini mencapai Rp 4,8 miliar rupiah.

4. Renovasi Tempat Parkir Motor

Gedung DPR seperti tidak henti-hentinya membenahi diri. Proyek ambisius lain adalah renovasi tempat parkir motor. Tempat parkir yang terletak di sebelah barat Gedung DPR ini akan diperluas dengan estimasi biaya mencapai 3 miliar rupiah.

Tempat parkir motor itu sendiri dirancang dua tingkat, dan mampu menampung lebih dari 2000 motor perhari. Renovasi ini sendiri sudah berlangsung dan diperkirakan akan segera selesai awal tahun ini juga.

5. Renovasi Toilet

Pada awal tahun 2012, publik dikejutkan dengan pengumuman akan dilakukan renovasi menyeluruh terhadap 220 toilet di Gedung DPR RI. Setjen Humas DPR RI, Jaka Winarko mengatakan DPR memerlukan dana sebesar 2 miliar rupiah untuk melakukan renovasi total tersebut.

Renovasi diperlukan lantaran, toilet di Gedung DPR terutama di Gedung Nusantara I, tempat para anggota dewan bekerja banyak yang sudah rusak dan bau.

6. Pembuatan Kalender 2012

Menyambut tahun 2012, DPR mengeluarkan kalender tahunan mereka. Kalender yang berisi 13 halaman dan berisi foto-foto kegiatan pimpinan DPR ini dicetak dengan biaya 1,3 miliar rupiah.

Dana ini diperlukan untuk mencetak 11200 eksemplar kalender, dimana tiap anggota dewan mendapatkan 20 eksemplar. Pembuatan kalender ini juga menjadi sorotan karena dinilai merupakan bentuk pemborosan anggaran negara.

7. Pemberian Makan Rusa di DPR

Proyek-proyek di DPR tidak hanya terkait pembangunan fisik semata. Ada proyek lain yang ternyata tidak diketahui banyak orang. Proyek tersebut adalah pemberian makan rusa-rusa yang selama ini ditempatkan di sekitar gedung DPR.

Dana yang dialokasikan untuk memberi makan rusa-rusa ini mencapai 598 juta rupiah. Proyek ini mungkin tidak akan mengundang kontroversi apabila keberadaan rusa tersebut jelas wujudnya, namun kenyataan di lapangan tidak seperti yang dibayangkan.

The Boneshaker (hal 310 -355)


nie kisah gue nyuri dari filenya kakak sepupu gue, jangan bilang2 ya.. blom ada di Indonesia hlo..
halaman 310

            Cahaya berkelip-kelip di belakang matanya, kilasan putih seperti jagung berondong yang meletus di wajan. Dia menggeleng dan memaksa dirinya memusatkan perhatian pada apa yang sedang terjadi sekarang. “Swacala abadi tidaklah nyata,” katanya dengan susah payah.
“Mesin membutuhkan gaya, apakah itu yang dikatakan ayahmu, Natalie?” hardik Limberleg. “Apakah dia bicara soal fisika padamu? Semua benda akan berhenti? Well, kebetulan ada gaya di dunia ini yang tidak mematuhi (answer) hukum fisika, persis seperti penyakit yang tidak mematuhi ilmu pengetahuan.”
Di belakangnya, otomat Alpheus Nervine mulai bergerak, tangannya mengayun pelan saling menghampiri. Natalie berjengit, tapi Tom meremas tangannya lagi.
“Aku sudah mencoba mengendalikan mereka! Aku sudah mencoba mencari jalan keluarhnya!” Limberleg mengangkat sarung tangan berwarna tulangnya dan melenturkan jari-jarinya dengan marah. “Roda gigi di tanganku, roda gigi di semua benda yang ada di pekan raya nostrum—oh, ada gaya yang bekerja pada mereka, sudah tentu itu, tapi setelah bertahun-tahun itu masih belum mematuhiku!”
Ping.
Natalie melirik ke Tom di samping, lalu ke Miranda yang kini tidak lagi pura-pura memandang ke luar jendela lagi.
“Aku sudah mencoba!” Dia mengayunkan satu tangan, melambaikan ke sekeliling koleksi otomat di keretanya. “Aku memperoleh semua ini, memisahkan mereka dan memasangkan mereka lagi, mencoba mencari tahu mekanisme kerja jamnya, mencari sesuatu, apa saja yang dapat membantuku mengendalikan yang lainnya....” Ping. “Dan setiap kali aku berhasil melakukannya, tiap kali aku merangkai-ulang salah satu otomat milikku yang normal sepenuhnya, ketika aku menyalakannya lagi, kuncinya akan jatuh tapi mereka akan terus bergerak. Semuanya di luar kendaliku dan di bawah kendali sesuatu yang lain!” Ping!
Satu tangannya yang gemetaran meraih rokok ke dalam sakunya. “Aku tak bisa menghentikan yang telah kugerakkan, tapi aku mencoba menetapkan peraturan. Tidak boleh mengunjungi kota dalam jarak sekitar tiga ratus dua puluh satu kilometer dengan kota lainnya, selama setidaknya seratus tahun. Aku meyakinkan sang Empat kami akan ketahuan seandainya tidak berhati-hati, tapi sebenarnya itu hanya untuk menghentikan mereka mencabik-cabik setiap desa yang kami lalui, setiap pertanian, setiap rumah. Kupikir mungkin saja untuk melukai orang yang lebih sedikit.”
Dia meluputkan sebatang korek api, tapi tak mau menangkap kotak koreknya. “Kalian tidak mengerti bagaimana mereka. Kalian tidak tahu dengan apa yang mampu mereka lakukan.” Ping! “Gadis Muda, ya ampun, kalau kau mau jadi pengawas, cobalah benar-benar memperhatikan kegiatanmu!”
Ping!... Ping, ping, ping, ping!
Dia menoleh untuk melihat tablo mini itu di sudut dari balik bahunya saat pot bunga terangkat dan penggebuk drum berbentuk seperti Acquetus mulai mengayunkan lengannya.
“Sudah kubilang mereka akan datang,” katanya.
Natalie menghambur mendekatinya. “Bagaimana kau menghentikan gingerfoot?”
“Tidak bisa.” Tangan bersarung Limberleg menyusuri rambut merah dan kelabunya yang berantakan. Rambutnya tersibak sebab jari-jarinya seperti rumput laut yang bergoyang terkena arus. Di belakangnya, pot ketiga terangkat ke belakang dan pemain flut mini memulai lengkingannya yang nyaring. “Tidak bisa,” katanya lagi saat pot keempat mulai miring ke belakang, memperlihatkan Argonault mungil yang botak. Dawai-dawai musik mengerikan mulai meraung.
Limberleg memutar mulutnya membentuk senyumnya yang tipis dan tanpa humor lagi dan menatap ke Tom. “Kau seharusnya berterima kasih padaku, Pria Tua, karena telah membebaskan kota ini dari kemalangan. Ada begitu banyak cara yang lebih buruk untuk mati. Aku tahu makhluk lain apalagi yang berkeliaran di jalan-jalan sekiar sini, dan gingerfoot sudah pasti cara yang lebih baik untuk pergi.”
Tom mengernyit. “Apa maksudnya itu, dasar kau pembohong tua?” Untuk pertama kalinya, dia baru terdengar benar-benar bingung.
“Pasti ada jalan keluarnya!” desak Natalie.
“Sudah kubilang, tidak ada.” Dia mengangkat tangannya. “Sudah digerakkan (set in motion), dan kini akan berlanjut dengan sendirinya, tiada akhir.”
“Swacala abadi,” bisiknya. Limberleg mengangguk dengan senyuman tanpa humor.
Tom meletakkan tangannya ke bahu Natalie. “Kita harus keluar dari sini, Natalie. Mereka akan datang, dan dia tidak akan memberi tahu kita caranya. Tidak ada alasan dia melakukannya.”
Natalie memasukkan tangannya yang gemetaran ke saku. Di saku kiri, dia menemukan kartu-kartu yang diberikan peramal lilin padanya pada hari pertama pekan raya.
Semua hal adalah baik atau buruk dengan dibandingkan, kata si peramal perempuan. Natalie belum paham benar apa artinya. Dibandingkan Jake Limberleg, sudah jelas banyak orang yang berbudi baik, atau setidaknya lebih baik. Mungkin maksud Phemonoe hanyalah apa yang baru saja dikatakan dokter kepada Tom: bahwa ada banyak makhluk yang lebih buruk di luar sana.
Tapi, itu juga bisa berarti hal lain.
Bukankah Limberleg memberi tahu si peramal wanita untuk menjawab Natalie? Bukankah Limberleg mengundang mereka ke dalam keretanya beberapa menit lalu? Bukankah Limberleg membuat peraturan-peraturan agar para Suri Teladan tetap terkendali?
Mungkin maksud si peramal perempuan memberi tahu Natalie untuk memahami bahwa tidak ada dan tidak seorang pun yang buruk sepenuhnya atau baik sepenuhnya. Mungkin, mungkin saja, meski Limberleg sangat menakutkan, dia masih memiliki sedikit kebaikan dalam dirinya.
“Dia akan melakukannya,” ujar Natalie pelan-pelan, menengadahkan pandangannya untuk menatap si dokter yang duduk balas membelalak ke arahnya. “Kurasa dia akan melakukannya.”
Tapi, Natalie tidak tahu apakah dia sungguh-sungguh meyakininya, atau bahkan apa yang harus dia yakini—apakah ada yang bisa dijadikan sandaran lagi, atau apakah seluruh dunianya benar-benar tempat yang sekacau dan seganjil seperti tiga hari terakhir ini.
Segalanya telah berubah.
Bahkan ayahnya yang cerdas, ibunya yang senang menjelaskan segala hal, kakaknya... Natalie tak bisa lagi bersandar pada mereka lagi, tidak kini, tidak pada saat ini, tidak saat menghadapi laki-laki dengan tangan iblis di dalam keretanya yang dipenuhi mesin bermekanisme kerja jam.
Bahkan aku pun telah berubah, Natalie menyadari. Dan mungkin, mungkin saja, tidaklah mengapa bahwa ternyata dia tak bisa bersandar pada keluarganya lagi kini.
Mereka harus bersandar kepadaku.
otomat menghambur bergerak di sekeliling mereka. Tom menekankan tangannya ke telinga seolah kepalanya akan meledak. Miranda memekik tapi memaksa diri agar matanya tetap terfokus pada gang di luar. Jake Limberleg mengembuskan desahan napas perlahan dan lelah. Sekonyong-konyong dia tampak jauh lebih tua.
Tom mencolek tangan Natalie. “Ayo!”
“Tidak.” Natalie berdiri di samping kursinya dan, berjuang mengabaikan bunyi hiruk-pikuk, dia menatap Jake Limberleg tepat ke matanya.
Natalie mengerahkan seluruh amarah agar lenyap dari wajahnya, seluruh kemurkaan dan ketakutan, dan meyakinkan dirinya sendiri dia bisa mengisi ruang kosong itu dengan kepercayaan diri, seperti yang telah diajarkan Tom Guyot Tua.
Sulit sekali melakukannya. Ini bukan Mrs. Byron, atau George Sills, atau bahkan Mr. Coffrett yang aneh. Ini adalah pria yang telah berdagang (traffic) dengan sang Iblis, yang telah memerintah para setan, yang telah membiarkan kejahatan berjalan bersamanya untuk waktu yang lama sekali. Tangannya bukanlah miliknya sendiri, dan siapa yang tahu apakah dia masih memiliki jiwa yang tersisa.
Tapi, pada intinya, Jake Limberleg tetap bukan seorang iblis. Bagaimanapun jenis pria seperti apa dia dulu, apa pun yang dikatakan si peramal perempuan mengenai materi dan jiwa, dia tetaplah hanya seorang manusia. Dahulu kala, dia bahkan mungkin seorang manusia yang baik hati. Dulu dia pernah ingin melakukan kebajikan di dunia ini. Itu pastilah berarti sedikit, setidaknya.
Mata Limberleg memicing, dan kecurigaan menusuk dalam tatapannya. Natalie ingin sekali menepiskan pandangan, ingin lebih dari apa pun untuk kabur bersama Tom dan Miranda, melarikan diri dari mimpi buruk bermekanisme kerja jam yang mengerikan dan berdenting... untuk pergi jauh, jauh sekali dari tangan mengerikan itu...
Tangan sebagian besar terdiri dari kulit dan tulang. Sebagian manusia; sebagian tidak. Tetap saja itu hanyalah tangan.
Natalie menekan memori mengenai tangan iblis jauh ke dalam relung pikirannya yang terdalam dan tergelap, dan mengunci pintunya. Dia memaksa dirinya memikirkan dokter muda Bellinspire yang kisahnya mendatanginya dalam kamar sebelah yang seperti sel penjara, dan dia menyelipkan tangannya yang kecil ke telapak tangan Jake Limberleg yang bersarung kulit.
Ketegangan menusuk-nusuk seluruh tubuh si dokter dan peperangan melawan tampak di wajahnya. Suara-suara roda gigi dan tubuh yang bergerak meninggi ke nada yang memekakkan telinga, tapi terdapat keheningan di jarak antara mereka berdua. Keheningan itu terus berjalan. Lalu, sesuatu terjadi.
“Pertama-tama,” dia bergumam, “tidak mencelakakan.” Jake Limberleg tersenyum. Senyumnya sungguhan dan lembut. Tampak harapan di dalamnya.
“Mungkin ada sebuah cara,” bisiknya, begitu pelan sehingga Natalie harus menyondongkan tubuh untuk mendengarnya. “Tapi kau hanya akan punya satu kali kesempatan.”
Lalu, tiba-tiba, jari-jarinya berkedut. Dia mengempaskan kepalanya menjauh dan menunduk menatap tangannya dengan tatapan tersadar yang mengerikan di wajahnya. Limberleg bangkit berdiri.
Sesaat, Limberleg terlupa bahwa tangannya bukanlah miliknya.
“Natalie”—jarinya melesat ke kancing-kancing di pergelangan tangannya—“kau harus menghancurkan sang Empat. Mereka adalah instrumennya—alatnya...” Wajahnya memerah, lalu putih pucat saat mencoba memaksa tangannya bergeming, tapi mereka membuka kancing-kancing itu dengan mudahnya dan mulai mengelupasi kulitnya. “Jika kau bisa mencari cara untuk memecahkan mereka, kau mungkin memecahkan apa yang telah mereka—keluar,” bentaknya, berjuang menjaga sarung tengan itu tetap di tempatnya, dengan tangan yang tak mau mematuhinya. “Keluar! Bawa semua itu bersamamu!” Dia menendang keempat otomat yang masih menguarkan suara-suara mengerikan dari instrumen mini mereka, sementara keliman jari-jari kulit itu mulai terkelupas.
Tapi Natalie hanya bisa menatap yang bermunculan dari sarung tangan yang koyak. Di jendela, Miranda merengek, tapi matanya tetap tertuju ke jalanan di luar.
Sarung tangan itu jatuh ke lantai. Tangan-tangan setan terulur meraih-raih tenggorokan Jake Limberleg.
“Natalie, pergi!” Natalie nyaris tak mendengar Limberleg teriak padanya, begitu terkesimanya dia dengan jari-jari mengerikan terdiri dari tulang dan otot dan roda gigi yang mengapur. Lalu suara Tom mengguncangkannya keluar dari ketidaksadaran: “Natalie!”
Tom meraih pergelangan tangan Limberleg, berusaha menarik lepas tangan setan. “Apa kau gila, Pria Tua?” gerung Limberleg, memukul-mukul Tom agar dia menjauh. “Natalie! Pergi!
Natalie merunduk-runduk melewati Jake Limberleg yang sedang berjuang untuk menyambar otomat itu. “Lalu apa? Jake! Lalu apa?”
“Pergi ke—“ Tangan tipis pertama mendekap lehernya, lalu jari-jari berikutnya yang sangat panjang membungkus sepanjang tenggorokannya dengan gerakan ringannya yang mengerikan. Limberleg melemparkan tubuhnya ke kanan-kiri, ke belakang, ke mana pun sebisanya, tapi tak ada yang bisa menghentikan tangan-tangan aneh itu saat mereka mulai meremas. Limberleg menggumamkan sesuatu yang mungkin sebuah perintah atau permohonan.
Tidak!” jerik Natalie.
Lalu Tom menyambar pinggang Natalie dan mengayunkannya keluar ruangan. Natalie mendarat di samping Miranda Porter yang gemetaran. Tom menuruni tangga di belakang mereka.
“Tidak,” isak Natalie. “Dia mencoba menolong kita—dia mencobanya—kita tak bisa meninggalkannya! Kita harus menyelamatkannya!”
Kereta itu bergoyang-goyang.
“Natalie, kita harus menyelamatkan kota,” kata Tom seketika. “Kita harus menyelamatkan mamamu, Sayang. Kita harus melakukan itu dulu. Jake Tua ingin kita memutarbalikkan tindakannya. Kau lihat dia menginginkan kita melakukan itu, kan? Karena kau membuatnya melihat, Natalie. Kau membuatnya percata dia masih bisa melakukan tindakan baik. Sekarang kita harus pergi. Mereka datang mengejar kita. Kita harus keluar dari pekan raya!”
Pekan raya, bukan adil... Natalie membiarkan dirinya terhanyut, terisak-isak, menjauh dari kereta yang berderit. Ini tidak adil. Tapi Tom benar.
“Ke sini,” kata Miranda gemetaran, berlari menuju ujung gang. Natalie membabi buta mengikutinya. Mereka berbelok ke kiri, kanan, lalu kiri lagi di antara tenda-tenda dan stan-stan dan tenda-tenda besar yang gelap... Miranda berhenti mendadak dan berbelok. Dia tampak bingung. “Seharusnya belok ke kanan.”
Mereka jalan mundur dan menuju arah yang sebaliknya. “Apa kau yakin?” tanya Natalie. Pertanyaan yang konyol. Bagaimana ada orang yang bisa yakin tentang apa pun di tempat ini?
Miranda berhenti berjalan, tapi tidak menjawab. Dia menengadah.
“Apa kau lihat itu?” bisiknya.
“Apa?” tanya Tom.
“Dia melihat kita, aku yakin,” kata Miranda dengan lembut. “Dia tahu di mana kita berada.” Perut Natalie mencelos. Dia menengadah melihat garis-garis tipis dan gelap yang bergelantungan seperti jaring di atas kepalanya.
Lalu mereka mendengarnya: gemerencing lembut suara bel.
“Dia akan menuntun para Suri Teladan langsung ke kita!” desis Natalie. “Lari!”
“Tidak, tunggu,” kata Miranda. “Kita bisa ambil jalan pintas di sini.”
Natalie mengikuti tatapannya ke plang di atas pintu masuk menuju tenda yang dimasuki Miranda dengan merunduk-runduk: LEMARI BENDA ANEH. Dia mengambil napas dan mengikuti Tom dan Miranda memasuki kegelapan.
Tom hati-hati menurunkan kain kanvas kembali ke tempatnya di belakang mereka sehingga tidak akan membuat mereka ketahuan. Dengan jentikan jarinya, bunga api menyala di antara jarinya. Cahaya mungil korek api memberkas terkena puluhan permukaan licin.
“Tempat apa ini?” bisik Miranda.
“Kelihatannya seperti semacam museum tua,” jawab Tom, melirik ke kotak pameran terdekat. “Ada tempurung kepala bertanduk di sini.”
“Apa yang akan kita lakukan dengan ini semua?” tanya Natalie. Suaranya terdengar jauh lebih lemah dan gemetaran dari biasanya. Figur-figur bermekanisme kerja jam di tangannya membuat perutnya mual. Dia tidak tahu apakah perasaan itu berasal dari syarafnya atau semata-mata dari kenyataan karena berada terlalu dekat dengan mesin-mesin yang tidak mematuhi (answer) hukum-hukum kehidupan.
“Aku tidak tahu, Sayang. Entah bagaimana, pecahkan saja.”
“Bagaimana kita memecahkan mesin yang bisa berjalan selamanya?” suara Miranda berbisik.
Natalie menjilati bibirnya. “Hari itu, waktu kita melihat miniatur si badut, dr. Limberleg bilang otomat itu akan terus berjalan sampai sesuatu menghentikannya dengan paksa. Jadi mungkin mereka bisa dihentikan... tapi ya ampun bagaimana kita bisa... padahal yang menggerakkan mereka adalah... adalah... sang Iblis?”
“Well, bagaimanapun itu lumayan berguna,” kata Tom. “Setidaknya kita tahu ada satu kekuatan yang bisa mengatur mereka.” Dia tampak ragu-ragu, tapi itu mungkin karena bayang-bayang dari cahaya korek api di pipinya yang berkerut-kerut.
Mereka berjalan membentuk satu baris dengan Tom di depan, menyalakan korek demi korek. Lorong-lorong di antara kotak-kotak itu cukup sempit sehingga mereka bisa melirik sekilas isinya dalam lidah api.
Sebatang pohon kecil berulir membungkuk digantungi bohlam lampu yang berkelip-kelip alih-alih buah. Sebuah miniatur istana terbuat sepenuhnya dari jarum jahit yang berkilauan. Sekumpulan kupu-kupu dan ngengat yang dipaku sayapnya yang tampak seperti topeng karnaval. Pajangan empat kucing isian dan menjulang; seekor belang-belang, seekor oranye, seekor hitam, dan seekor Siam... masing-masing dengan sepasang sayap berbulu yang mekar persis dari belakang tungkai bagian depannya. Satu kotak memajang model sempurna pekan raya itu, lengkap dengan botol-botol kecil dan kabel-kabel bohlam lampu yang tidak penting. Miniatur Band-Tunggal dan si badut keduanya juga ada di sana, mondar-mandir di sekitar jalan setapak kecil, bersama dengan Mr. Dalliot di Rumah Obat dan pasukan mirip Dalliot yang tampaknya menjalankan yang lainnya.
natalie berhenti tiba-tiba di sebuah pajangan di atas meja. “Tom?” Tom menyalakan korek api yang baru dan mengangkatnya untuk menyinari sekolompok gambar berlabel PERJALANAN DR. LIMBERLEG DAN PERUSAHAAN.
“Aku kenal tempat itu.” Natalie menatap sebuah deguerrotype dalam bingkai. Foto itu tampak berbeda dengan gedung yang utuh alih-alih fasade yang runtuh, tapi tak salah lagi itu foto persimpangan di luar kota Arcane. Dengan gerakan tiba-tiba, semuanya jadi terangkai bersama: telegraf, jurnal, Natalie tersandung botol pendek, bulat, dan hijau di persimpangan yang berdebu. Untaian kata-kata di label, dan di kartu resep, dan diucapkan seperti sebuah mantra di sebuah kereta penuh benda bermekanisme kerja jam. Botol bulat dan hijau di tangan Chalie. Figur-figur mengejutkan dan dibuat-buat yang mengelilingi Simon Coffrett saat Natalie melihatnya berjalan menyusuri Desa Lama di penglihatannya yang aneh berhari-hari sebelumnya.
Dan mereka yang masih bisa berjalan melemparkan diri mereka sendiri ke seputarnya seperti mesin-mesin yang kikuk,” bisik Natalie. “Gingerfoot! Itulah yang terjad di Desa Lama. Ingat yang dia bilang? Kau tidak bisa menyeimbangkan tubuh, tak bisa berjalan... kau menyeret dirimu ke sekeliling, persis seperti yang dikatakan jurnal tua itu—“
“Tapi bagaimana mungkin dia bisa terus jalan begitu lama?” protes Miranda. “Kau bilang itu terjadi sebelum perang, dan itu kan—“
“Sstt,” bisik Tom. Di suatu tempat di kegelapan di atas kepala mereka dan di luar, mereka mendengar bunyi bel. Korek api padam di jari-jari Tom. Dia menyalakan satu lagi dengan jentikan dan terdengar desisan. “Quinn tua itu sedang mencari kita. Harus terus berjalan.”
Mereka bergegas di antara bentuk-bentuk aneh dan seperti hantu di kotak-kotak yang redup: bunga-bunga yang tampaknya diubah menjadi batu, stoples-stoples berisi kunang-kunang berkelip warna aneh, sebuah miniatur mengilap rumah yang menghilang dan muncul-kembali di sudut-sudut yang berbeda saat mereka berjalan melaluinya, seekor kodok hidup dan sebongkah batu purba/kuno tempat hewan itu ditemukan di dalamnya, dan gambar-gambar yang terbuat dari bulu, sisik, dan tulang.
Tom sudah kehabisan korek api ketika mereka berhenti dan berhati-hati menepikan kelepak kanvas di belakang tenda. Mereka mengintip ke luar ke jalanan yang sunyi dan menengadah ke jaring-jaring senyap di atas. Kabel-kabel yang tersiram cahaya bulan bak terpintal dari perak.
“Nah, diamlah,” bisik Tom, “dan jangan jauh-jauh dari tenda-tenda ini.”
Begitu mereka melangkah kembali memasuki malam, otomat di tangan Natalie mulai bergerak. Dia berjengit dan memegang mereka lebih erat.
Mereka berusaha mengadukan keberadaan kami, Natalie menyadarinya. Mereka ingin si badut menemukan kami.
Mata Natalie terpusat pada kabel-kabel sambil mengikuti Tom dan Miranda, berpikir mungkin dia akan melihat sesuatu, getaran, apa saja yang bisa memberinya peringatan Quinn yang Menakjubkan yang mendekat. Tapi di atas sana berpendar senyap dan sunyi.
“Kurasa pintu masuknya ada persis di depan sana,” bisik Natalie, merayap maju dan mengintip di belokan. “Persis di—“
Lalu dia mundur dengan panik, tersandung, dan mendarat di tanah. “Pergi!” Dia menghela dirinya agar berdiri dan berdesis, “Dia datang!”
Mereka berjalan mundur secepat mungkin. Natalie menoleh dari balik bahunya saat mereka menghambur kabur; tak ada tanda si badut kecil, tak ada suara yang menyiratkannya. Dia sejauh mana di belakang?
“Di mana—“
Sesosok bayangan gelap melayang di atas kepala, menyeberangi lorong yang baru saja mereka lewati, dengan gemerencing giring-giring yang lembut. Natalie menggigit bibirnya dan menyambar Miranda dan Tom agar berhenti. Apakah dia mendengar mereka?
Bayangan itu berhenti mendadak. Kepalanya memutar-mutar, dan wajah porselen putih pucat itu terbersit berkas sinar bulan. Terdengar bunyi klik pelan saat ia mengedip, permukaan mulus di belakang lubang mata itu menghilang lalu muncul kembali.
Tidak ada yang bernapas.
Lalu Quinn yang Luar Biasa mengeluarkan desisan singkat. Tubuh mungilnya bergeser di atas kabel.
“Lari!” teriak Natalie.
Mereka berusaha sebisa mungkin menyeret Tom di antara mereka, gadis-gadis itu berlari kencang lintang pungkang menuju tenda besar terdekat, merubuhkan plakat dan kuda-kudanya saat mengayunkan diri masuk. Giring-giring di atas kepala bergemerencing. Sesuatu jatuh ke atas atap kanvas.
“Kita tak bisa mendahuluinya,” Tom terengah-engah. “Tidak kalau kalian sambil menyeretku.”
“Kita bisa berlari menerobos tenda-tenda. Mengubah arah,” bantah Natalie. “Tidak masalah lagi begitu kita berhasil sampai di jalan besar; yang kita butuhkan hanya keluar dari pekan raya ini. Kita bisa menyesatkannya di ladang jagung jika kita keluar di arah yang keliru.”
Mereka merangkak menyusuri tenda besar itu dan keluar dari sisi yang berlawanan persis saat badut itu mengayunkan dirinya memasuki pintu. Di lapangan terbuka mereka berlari lagi, setengah menarik, setengah membawa Tom yang protes dalam hati.
Geraman murka dari dalam tenda besar memberitahukan Quinn yang Luar Biasa tidak senang mengetahui mereka sudah pergi. Begitu mereka mendengar giring-giringnya menghampiri udara malam, mereka masuk lagi ke tenda yang lain. Natalie terkena alas tiang; Tom menyambar bohlam lampu kaca raksasa yang terguling dari alas tiang itu persis sebelun pecah. Miranda melepas ikatan kelepak di sudut yang lain agar mereka bisa menyelinap keluar lagi.
Mereka bergegas menyusuri kegelapan, lalu merunduk memasuki tenda besar lainnya, mengubah arah, dan berjingkat-jingkat keluar dari sisi yang berbeda. Tidak terdengar suara lagi dari Quinn yang Luar Biasa.
Di lain sisi, mereka sekarang benar-benar tersesat. Masih terlihat berbagai stan, tenda besar, kereta di sekeliling mereka. Tidak ada tanda-tanda pintu masuk, tidak ada tanda-tanda ladang terbuka yang mengelilingi kaveling (lot) ini.
“Kurasa...” Miranda ragu-ragu dan menoleh untuk memeriksa kanvas berwarna gelap yang menyelimuti mereka. “Mungkin ke arah sini?”
Pada saat itu, si badut turun ke tanah, mendarat di antara Miranda dan Natalie. Membelalak menatap mereka dengan mata yang berlubang seperti hantu di bawah bulu mata palsu yang tegak kaku, ia berdesis lagi dari lengkungan senyumnya yang bercat merah muda.
Miranda tersenyum dan mundur; si badut melompat mengejar. Tom Tua melangkah maju untuk melindungi Miranda. Natalie dengan ragu-ragu hendak melangkah maju, tapi tatapan peringatan dari Tom menghentikan langkahnya.
Si badut juga berhenti. Ia menelengkan kepalanya dan menatap Tom, lalu ke Miranda di belakangnya. Lalu sesuatu dari sikap tubuhnya berubah. Ia memutar kepalanya pelan-pelan untuk menatap Natalie, mata hitamnya berpendar di belakang wajah porselen putih yang tanpa ekspresi itu. Di tangan Natalie, otomat itu bergerak-gerak, seolah-olah mereka sedang meraih-raih Quinn.
Natalie tidak perlu disuruh untuk lari. Si badut menghambur mengejarnya.
Natalie berlari cepat dan mengelak, tidak mempedulikan belokan dan putaran mana yang dia ambil di antara labirin tenda ini. Giring-giring gemerencing di atas kepalanya; badut itu sudah berada di atas kabel lagi.
Kakinya mengentakkan debu dan meluncur di atas jerami kering. Benda-benda di pelukannya bergoyang-goyang gelisah. Quinn yang Luar Biasa berpacu di sampingnya dan di atas di seutas kabel yang sejajar dengan jalurnya. Natalie melirik ke atas, dan di luar ujung matanya dia melihat badut itu berputar dan bersiap-siap untuk melompat—persis ketika sebuah celah di antara tenda-tenda terbuka persis di bawahnya. Natalie mengayunkan tubuhnya ke dalam jalan kecil. Si badut melayang persis di atas kepalanya, begitu dekat sehingga salah satu giring-giringnya mencerabut beberapa helai rambut Natalie, dan menggelinding ke tanah berdebu dengan suara gemeresik pelan.
Kiri lagi, kanan, dan melewati sebuah tenda, kanan lagi, kiri, kanan... pergelangan kakinya sakit akibat berbelok di jerami. Entah bagaimana, Natalie berhasil tetap berada di depan si badut sementara ia melesat menembus udara di atas kabel-kabel. Setiap kali dia pikir sudah semakin dekat dengan jalan keluar pekan raya, Quinn yang Luar Biasa muncul di jalurnya, memaksanya menghambur kembali ke jalan dia datang. Sulit untuk mendengar bunyi pelan giring-giring yang pudar yang memberitahu lokasi si badut di lebih kencang dari napasnya sendiri.
Natalie lebih cepat beberapa menit tiap kali si badut mengubah arah agar bisa tetap bisa mengikuti jejak Natalie, dan tersesat empat kali setiap kali dia mendapati dirinya di sebuah jalan yang melaju paralel dengan (atau lebih buruk, di bawah) salah satu kabel itu. Tapi mereka nyaris mustahil bisa melihat dalam gelap tanpa badut yang terbang di atas mereka, yang di satu titik sebaiknya tidak melihat.
Lari saja. Selama Natalie tak bisa melihatnya, ia tak mungkin cukup dekat untuk melompat.
Setidaknya, Natalie berharap begitu.
Sekonyong-konyong, Natalie menyadari dia tidak bisa mendengar giring-giring itu lagi. Apakah itu mungkin? Dia melirik ke atas lagi sambil merunduk berbelok. Tidak ada bayangan di atas. Natalie melambat, memepetkan diri ke kanvas, dan menahan napasnya. Jantungnya berdentam-dentam di telinganya, paru-parunya berdenyut-denyut, tapi tidak terdengar giring-giring hantu bergemerencing di atas kabel.
Natalie tak mungkin sudah membuatnya tersesat, kan? Tidak mungkin dia sudah berlari mendahuluinya—
Dari belakangnya, sepasang tangan menyambar lengan dan menutupi mulutnya, dan menyeretnya ke belakang melewati kelepak kanvas. Natalie berusaha menjerit.
Wajah Miranda muncul di antara seberkas cahaya redup, jari di depan bibirnya. “Ini kami,” bisik Tom saat dia melepaskan Natalie. “Ke mana badut itu?”
“Aku tidak tahu. Kurasa aku sudah membuatnya tersesat.”
Miranda menggeleng. “Aku mengikutinya—kalian berdua—selama beberapa saat, tapi aku kehilangan dia beberapa menit lalu tidak jauh dari sini. Kau datang di jalan yang sama setelahnya. Ia pasti berhenti mengikutimu sebelum itu.”
Natalie ambruk ke tanah dan menghirup udara. “Sekarang bagaimana?”
“Miranda perkirakan, kita tidak jauh dari bagian depan,” kata Tom. “Kita bisa berlari ke sana setelah kau ambil napas dulu.”
“Aku sudah  siap.” Paru-parunya terbakar, tapi kalau dia menunda lebih lama dia akan memikirkan rasa sakit di kakinya itu. Dia mencengkeram keempat otomat itu lebih erata. “Ayo.”
Miranda mengintip keluar dan menatap ke sepanjang jalur. “Kosong.”
Satu per satu mereka merayap menyambut malam: Miranda mengarahkan, Natalie di tengah membawa benda-benda yang aneh itu, dan Tom di belakang barisan. Miranda benar; mereka kembali berada di daerah yang sudah familier, tidak jauh dari Tenda Magnetisme.
Kabel di atas kepala senyap.
“Lihat!” bisik Tom saat mereka membelok di belokan terakhir untuk menjadi pintu masuk pekan raya yang hanya berjarak beberapa meter ke depan. “Yang perlu kita lakukan sekarang hanya berlari cepat.”
Gadis-gadis melihatnya pada saat yang bersamaan. Natalie menyambar lengan Tom untuk menghentikannya melenggang ke medan terbuka, dan Miranda menunjuk di mana sesosok gelap duduk membungkuk dan bergeming seperti seekor burung bangkai di atas cabang pohon mati, duduk tenang di atas kabel yang persis di atas pintu keluar.
“Ayo,” kata Miranda. “Kita memotong di sampingnya dan menyusuri ladang.”
Tom menggeleng. “Bukan saatnya bermain-main lagi. Waktunya semakin tipis. Aku pergi lebih dulu, dan sementara dia menghabiskan waktu denganku, kalian berdua larilah, secepat mungkin.”
“Sehingga ia bisa menyerangmu alih-alih kami?” desak Natalie. “Ia bisa membunuhmu! Kita tidak tahu apa yang bisa ia lakukan.”
“Bagaimanapun,” kata Miranda gemetaran, “seandainya ada salah satu di antara kita yang mau jadi pengalih perhatian, maka harus yang bisa lari.”
“Miranda, Sayang, gagasannya bukanlah aku akan berusaha dan melarikan diri,” kata Tom dengan lembut. “Kau dan Natalie harus melakukan bagian yang itu.”
Sebelum mereka sempat protes lagi, sosok meringkuk itu menegakkan badan, menjulurkan lehernya, dan bergegas lari, di atas kabel dan menghilang dari pandangan. Natalie memicingkan mata ke arah pandangan sosok itu, dan merasa seolah baru saja menelan sebongkah batu.
“Di sana.” Natalie menunjuk ke jalanan di luar pekan raya, di mana empat cahaya yang naik-turun menyala di kepalan tangan empat sosok yang berjalan bersisian menuju pintu masuk kaveling. “Ia bukan sedang menunggu kita. Ia sedang menunggu mereka.



DUA PULUH
GINGERFOOT


            Mereka membawa lentera yang menyinari wajah-wajah marah dan keji mereka: Acquetus, Vorticelt, Argonault, dan Nervine, masing-masingnya tampak tidak seperti manusia lagi dan cenderung seperti mimpi buruk. Di pelukan Natalie, para pasangan-otomat itu memukul-mukul dengan hebohnya saat dia, Miranda, dan Tom berjalan keluar dari pekan raya dan berdiri di bawah spanduk pintu masuk. Dari sini mereka bisa lari, bahkan mungkin melarikan diri... tapi ada satu hal yang pasti.
Tidak akan ada perlawanan terhadap makhluk-makhluk ini.
“Natalie,” kata Tom, “kita mungkin hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan ini. Lakukan dengan benar pada pertamanya, atau tidak sama sekali.”
Natalie mengangguk, tidak berani menepiskan pandangannya dari makhluk-makhluk yang berjalan menghampiri mereka. Di tangannya, figur-figur itu melawan semakin heboh. Bagaimana mereka akan mencerna potongan-potongan informasi yang mereka ketahui selama beberapa jam terakhir, belum lagi hari-hari sejak pameran ilmu pengobatan mampir ke Arcane, sebelum versi ukuran sebenarnya mesin-mesin mengerikan ini menghancurkan mereka?
Potongan-potongan.
Saat Natalie memandang ke depan, lentera-lentera yang terayun-ayun di tangan Empat yang semakin maju itu menjadi cahaya matahari yang terpantul dari genta metal sementara dia teringat kata-kata Simon Coffrett untuk kedua kalinya malam itu. Sebagian orang memulai dari potongan-potongan di tepian, katanya, tapi seandainya aku jadi kau, aku akan langsung ke bagian tengahnya. Kemudian, si peramal wanita: Kau harus memulai di permulaan.
“Kita harus ke persimpangan.” Begitu mengucapkannya, Natalie tahu itu benar. “Di situlah kita bisa mengakhiri ini dengan benar. Kita akan melawan api dengan api. Sang Iblis yang menyalakan mereka; sang Iblis yang bisa mematikan mereka.”
Tom mengangguk. “Tapi kau harus pergi dengan cepat, Natalie. Paksa Empat itu agar mengikutimu.”
“Aku?” Natalie terpaku, mata membelalak. “Tapi... tapi kalian juga ikut, kan?”
Sekarang Tom tertawa. “Bagaimana, Sayang?”
“Aku akan—aku akan ikut denganmu,” bisik Miranda, membenahi keliman gaunnya dengan satu tangan yang gemetaran.
“Tidak ada waktu. Waktunya hanya cukup untuk satu orang. Natalie, kau harus pergi!”
Natalie menggeleng. Tidak, tidak, tidak...
“Ya, Sayang, dekati makhluk itu dan pergi.” Tom mengangguk ke sepeda yang bersandar ke palung di tempat Natalie meninggalkannya di bawah semak-semak. “Tapi kau harus membuat benda itu terbang, Natalie. Kau harus melebihi kecepatan kaki-tangan Iblis malam ini.”
Natalie mendengar dirinya protes dan membencinya, membenci bahwa dia membantah—tapi Tom sudah mengetahuinya, bukan? Tom sudah pernah melihatnya mencoba dan gagal lagi dan lagi dan lagi! Umurnya tiga belas tahun, putri seorang montir sepeda, dan dia tak bisa mengendarainya. Sepeda itu melawan dirinya; melemparkan tubuhnya; membencinya.
“Natalie,” sela Tom, berbicara dengan lembut tapi tegas, “kau harus berlomba mendahului setan-setan itu dan menang, lalu kau harus menuntut untuk berbicara dengan bos mereka.”
Kepalan tangannya terbuka. Di telapak tangan Tom koin aneh berkilat-kilat, pinggirannya yang bopel terkena cahaya lentera yang berkelip-kelip.
“Bawa ini dan katakan padanya aku menginginkan pertolongannya (favor), dan jangan biarkan dia memberimu masalah/rintangan/halangan. Pertolongan(favor) itu ikut bersama koin itu, atau benda itu tidak akan terus muncul setiap kali aku mencoba membuangnya. Tapi genggamlah dengan amat sangat erat, Natalie. Tak ada yang lebih disukainya selain muncul di tanganku persis ketika kau membutuhkannya berada dalam genggamanmu.”
Tom menyentuhkan koin itu ke telapak tangan Natalie. Rasa dingin tiba-tiba membakar kulit Natalie sehingga dia langsung memasukkannya jauh ke saku baju overall-nya.
“Sekarang kau harus pergi, Natalie. Kau harus mencobanya. Mereka bersandar padamu, semuanya.” Di samping Tom, Miranda berdiri, mata membelalak, berdiri dengan gelisah, dan tak mampi bicara.
Lentera yang terayun-ayun sudah cukup dekat sehingga bisa bisa melihat ngengat-ngengat kikuk yang menabrak sekeliling kacanya. Natalie bisa melihat titik-titik di kepala Argonault, bisa merasakan mata berlubang-hitam Vorticelt yang mendelik-delik untuk membeli jiwanya. Natalie berlari menghampiri Chesterlane Eidolon merah, memasukkan otomat ke keranjang di bagian belakang rangka sepeda, dan mengikatnya rapat-rapat. Dia menyeimbangkan sepedanya, menjepit koin Iblis di antara telapak tangan kirinya dan setang. Mereka bersandar padaku.
Di Chesterlane milik Limberleg, Natalie sudah tahu bagaimana mengayuh dengan lebih baik, dan menurutnya dia mungkin juga sudah tahu cara mengemudikannya. Jika dia bisa menaiki sepeda merah itu, mengayuh, menambah kecepatan... jika dia bisa melakukan itu, dia mungkin akan memiliki peluang. Dia masih belum tahu caranya melakukan itu semua, tapi tak ada waktu lagi. Jika dia hendak menolong orang lain, dia harus memaksa Chesterlane itu bekerja untuknya, walau cenderung merontokkan tulangnya dan sejenisnya.
“Pergi!” teriak Tom, dan Natalie berlari, berpacu di samping sepedanya—lalu mengayunkan satu kaku ke pedal yang berputar, luput, tersandung, dan menambah kecepatan lagi. Ingat di mana pedalnya, pikirnya pada diri sendiri. Natalie berlari, menyentakkan tanah agar kakinya bisa ke atas satu pedal, mengayunkan kakinya yang satu—wuss!—ke atas sadelnya, dan tiba-tiba dia sedang memutar kakinya, mengayuh, melayang di atas jalanan bertanah. Sepeda itu miring-miring, dan Natalie menyondongkan tubuh menjauhi kemiringannya. Tanpa susah-payah sepeda itu menyeimbangkan dirinya sendiri. Di belakangnya dia mendengar Miranda meneriakkan kemenangan.
Natalie bersepeda, sungguh-sungguh bersepeda.
Natalie berteriak gembira, lega, pelarian saat menukik melewati sang Empat yang membawa lentera. Teriakan kemenangannya berubah menjadi tawa saat melihat wajah-wajah tercengang mereka saat dia menjauh menyusuri Jalan Heartwood menuju pusat kota.

**

“Lihat si Natalie pergi,” kata Tom. “Anak yang baik.” Dia mengeluarkan kekehan kaku sementara sang Empat beralih berlari menuju pekan raya.
“Tom,” kata Miranda, memegangi lengan baju Tom, “mereka masih menuju kemari!”
“Mereka tidak ingin apa pun dari kita. Natalie lah yang memiliki apa yang mereka inginkan, dan mereka tak boleh membiarkannya kabur.” Dia mendesah dan menepiskan pandangan dari keempat Suri Teladan yang marah dan berteriak ke dalam kegelapan. “Baiklah, sekarang kau ----- (buckra), tunjukkan wajahmu.”
Sang Empat berlari cepat melewati mereka dan menghilang ke dalam kegelapan pekan raya bersama Quinn yang Luar Biasa melesat menyusuri kabel-kabel di atas. Miranda merunduk di belakang Tom, tapi pemain gitar tua itu malah berteriak lagi ke malam.
“Kubilang, ayo keluar! Sudah waktunya!”
Miranda menyipitkan mata. “Kau sedang bicara dengan—“
“Jangan menggoda.” Suara yang keluar dari bayang-bayang terdengar letih. “Aku sudah tua. Aku sudah tidak tahu bagaimana berkelakar lagi.”
“Well, itu tidak benar. Aku dengar kau tertawa kencang sekali waktu itu.” Tom tersenyum pada makhluk itu—setengah gelandangan dan setengah orang mati—yang diselimuti setelan lapuk, yang berjalan pincang di antara cahaya redup yang memberkas dari pekan raya. Mata Miranda membelalak lebar.
“Senang rasanya bisa tertawa,” kata Chester Teufels.
“Well, tukang sulap tua,” kata Tom, menyentuh pundaknya, “mungkin anak yang ini siap untuk membenahi segala masalah (settle things up).”
“Mr. Teufels?” Miranda menatap laki-laki tua kecil itu. “Kau adalah si iblis?” Dia menoleh ke Tom. “Iblis yang menginginkanmu memilih pertolonganku? Dialah yang mengikutimu kemana-mana selama bertahun-tahun seperti seorang... seperti seorang pengacara, kata Natalie?”
Mr. Teufels mengernyit memandangnya dan menunduk menatap setelannya yang kusut. “Aku lumayan bersih kok, Gadis Muda, saat aku menginginkannya.”

**

Natalie melihat korban pertama gingerfoot sebelum mencapai menara air di sudut Jalan Heartwood dan Bard. Dia melihatnya begitu menyalakan lampu kuning di antara setang sepedanya: Tyler Marsh, pengurus kuda yang bekerja di Istal Sewaan Ogle’s, menyeret dirinya sambil menendangi satu kaki dengan canggung ke depannya, lalu menendangi yang kedua setelahnya. Bahkan dengan cahaya kuning yang terang dari lampu sepedanya, mustahil untuk memastikan apakah ekspresi di wajahnya merupakan rasa sakit atau frustrasi sebelum dia menghilang dari pandangan.
Sesaat, nyaris dikuasai rasa takut melihat apa yang mampu dilakukan gingerfoot, Natalie terpikir untuk berbelok ke kiri, menjauhi persimpangan dan menuju rumahnya. Dia membayangkan lampu besar di atas pintu bengkel sepedanya bersinar. Di belakangnya, serambi beraroma kue cokelat yang ajaibnya tidak gosong. Bagaimana seandainya dia berhenti saja di sana? Ayahnya pasti bisa memecahkan mesin-mesin kecil menyedihkan ini. Ayahnya pasti bisa...
Jika Natalie pulang, dia akan mendapati ibu dan kakaknya dengan gingerfoot.
Pemikiran itu membuatnya terhuyung-huyung di atas sepeda, dan untuk sesaat kakinya meleset di pedal hampir seolah dia juga mengalami penyakit mengerikan ini yang membuatmu lupa bagaimana seharusnya tubuhmu bergerak.
Natalie membayangkan kakaknya, mencambuk-cambuk jalanan seperti Tyler Marsh. Sejauh yang dia tahu, bahkan ayahnya, menjadi percaya akibat penyembuhan istrinya yang sangat cepat, mungkin telah mengasup sesuatu juga. Bagaomana seandainya dia tiba-tiba tidak bisa bergerak di bengkel kerjanya dengan kunci inggris menggantung tak berguna di tangannya? Natalie membayangkan ibunya, mendadak tertimpa saat sedang memasak makan malam, tak mampu menyelamatkan bahkan satu irisan daging yang gosong di atas kompor. Seperti pemutar piringan hitam Victrola yang diputar sampai habis dan terlupakan, jarumnya melompat-lompat tiada akhir, tak berdaya, mengenai sumbunya.
Ibunya, dikecilkan menjadi mesin berbentuk manusia, tak berdaya dan dibayang-bayangi—gambaran inilah yang akhirnya membuat dirinya berjengit. Dia memaksa tubuhnya tegak dan kakinya bergerak.
Mereka bersandar padanya.
Hanya ada satu cara untuk melakukani ni. Dia tak bisa kehilangan posisinya yang lebih dulu, tidak sekarang, saat masih jauh yang harus dikerjakan. Natalie mengenyahkan semua  pikirannya tentang rumah, mengarahkan setangnya ke pusat kota dan terus mengayuh.
Tyler Marsh masih lebih baik dari yang berikutnya dia lewati: Miss Tillerman, yang pertamanya tampak hanya mabuk saat berdiri terhuyung-huyung di tengah-tengah Jalan Bard. Lalu Natalie menyadari dengan kaget saat melihat Miss Tillerman tak bisa bergerak. Dia sudah tak bisa mengendalikan tubuhnya sama sekali, seperti mesin bermekanisme kerja jam yang mereda, tak berdaya hingga seseorang mengasihani dan memutarnya kembali.
Ketika melihat korban ketiga saat melintasi antara toko kelontong dan kedai minum, Natalie nyaris kehilangan kendali sepedanya dan hampir menabrak makhluk malang itu. Dia seorang wanita, dan Natalie nyaris tak melihatnya karena dia sedang menyeret dirinya menyeberangi jalan dengan perutnya.
Gambaran itu sangat mengerikan tapi familier, dan Natalie hanya butuh sesaat untuk memahami alasannya. Itu sama persis seperti cara otomat Nervine mini menyeret dirinya menyeberangi lantai kereta Limberleg. Ia mungkin bergerak atau tidak, kata Limberleg ketika menggambarkan dampak gingerfoot pada tubuh, tapi jika ya bergerak, ia tidak bergerak berdasarkan perintah jiwa di dalamnya.
Orang-orang kota beralih menjadi otomat, tanpa roda gigi ataupun anak kunci, tapi tetap saja disebut otomat. Boneka. Natalie bergidik.
Lalu, rangkaian kancing mutiara di punggung wanita itu memantulkan cahaya, dan Natalie menyadari makhluk di tanah itu adalah Mrs. Byron. Air mata terpantul basah di wajah wanita tua itu saat dengan enggan menggali tanah dengan tangannya—mencoba menggerakkan tubuhnya sendiri atau mencoba menahannya, Natalie tidak tahu pasti. Aku harus berhenti. Aku harus menolongnya ke tempat yang dia tuju, pikirnya dengan sedih. Di keranjang sepedanya, miniatur Suri Teladan bergerak-gerak gelisah. Natalie terus mengayuh.
Natalie melewati korban lainnya. Dia memaksa diri untuk terus melaju.
Saat dia mulai merasa mungkin bisa mencapai persimpangan tanpa kecelakaan ketika embusan tiba-tiba angin membuatnya melirik dari balik bahu. Dia hampir kehilangan kendali sepedanya lagi.
Sang Empat datang.
Di belakangnya, di ujung jalan, sekelompok bunga api bergerak cepat melintasi jalan. Itu sesuatu perpaduan antara rumah kaca dan bohlam lampu yang menyebarkan cahaya aneh dan retak-retak melalui panel kaca berlubang (bubble-pocked) tua; cahaya memancar di roda kuningannya yang besar.
Mereka mengejarnya dengan menggunakan Ruang Terapi Batu Amber, yang ditarik oleh sepeda-sepeda roda tinggi yang besar itu. Mereka melaju dengan cepat.

**


Kanvas yang berkibar-kibar dan serpihan kayu pancang menandai rute yang dipotong Ruang Terapi Batu Amber dari pekan raya. Jack si pengembara berlenggang menyusuri pusatnya dengan atmosfer seseorang yang berjalan di sepanjang lajur pedesaan yang lebar, cahaya menyelinap keluar dari lentera timah berlubang di atas bahunya dan tas berbahan karpet terayun-ayun dengan riangnya dalam genggamannya. Dia menghirup napas dengan penuh semangat, seolah-olah menghirup embusan angin laut alih-alih debu dan minyak goreng dingin.
Di suatu tempat di dekat tengah-tengah dia Jack berhenti untuk memeriksa sesuatu yang setengah tersembunyi di bawah setumpukan kanvas yang runtuh. Setelah sesaat mengamati dia mengangkar sebagian tenda yang rubuh dan mengayunkan pintu di bawahnya hingga terbuka.
Jack berjalan memasuki kereta, melangkah hati-hati melewati kekusutan di lantai: campur aduk mainan mekanis, jari-jari keramik yang remik, serta geligi roda dan roda gila dari mesin-mesin antik yang hancur. Ketika mata pucatnya sudah bisa menyesuaikan dengan kegelapan, dia melihat apa yang dicarinya di seberang kamar ini, tersembunyi di bawah kursi dokter gigi yang terguling: sepasang sepatu lecet di ujung dua kaki yang setengah terkubur.

**

Natalie mengayuh lebih keras, kakinya berputar begitu cepat sehingga dia nyaris tak bisa menjaganya tetap di pedal. Di belakangnya, bilik kaca menimbulkan suara aneh saat menembus malam. Dia mencoba-coba melirik lagi.
Mereka sudah memotong posisinya yang lebih dulu, melayangkan dirinya ke depan Bilik Terapi Batu Amber seolah itu semacam mobil yang menimbulkan mimpi buruk. Sekarang dia bisa melihatnya dengan lebih saksama: Acquetus dan Argonault duduk di atas aparatus pedal di kedua sisi, aparatus yang sama yang telah menggerakkan sirkuit ketika ibunya berada di dalam kotak itu. Kali ini, Vorticelt memutar engkol tangannya untuk membangkitkan arus yang mengerikan menyebar menyusuri yang tampak seperti tubuh kelabu yang kurus bersetelan cokelat muda—meski sulit untuk mengetahuinya dengan pasti melalui kacanya yang tebal dan kotor.
Beberapa saat kemudian, sang Empat di kereta kaca mereka sudah menyusul jarak lagi. Natalie melihat Nervine kini, membungkuk di atas langit bilik yang cembung dan persegi, bergantungan ke puncak tenda kuningan di atas dengan satu tangannya bahkan saat petir pelan menguar darinya. Tangannya yang satu terangkat, menunjuk ke Natalie, dan percikan bunga api melayang dari jari-jari serta ujung tajam rambut kelabunya, membuat wajahnya yang marah mengilat dan mengerikan saat dia berteriak pada rekan-rekannya di bawah, mendesak mereka agar terus maju, menyuruh mereka mengayuh lebih cepat, menggerakkan dinamonya lebih kencang. Si badut kecil bergerak cepat di sepanjang kubahnya, bergantungan ke kuningan di antara panel kaca, lalu bergantungan dari metal meliuk yang bergantung seperti tanaman rambat ivy dari pinggir atap, kini bertengger sesaat di ujung atas puncak tenda seperti seorang pengawas. Cahaya yang memercik mengilat sekejap di wajah porselennya, menerangi jejaring retakan di permukaan dari tempatnya mencoba dan gagal untuk menangkap Natalie dengan lompatan melayang.
Natalie mengayuh lebih kencang. Kali berikutnya dia mencoba-coba melirik lagi, dia melihat laki-laki bersetelan cokelat menyemburkan hujan bunga api yang melintas di sepanjang kabel yang bergelantungan di atas kepalanya. Itu akan membunuhnya, pikir Natalie dengan sedih, tapi kemudian dia melihat tulang kerangkanya terlihat menembus kulitnya dalam gelombang listrik berikutnya. Bahkan melalui panel tebal dan kehijauan itu dia bisa melihat tulang kerangkanya tidak lain adalah sekumpulan roda gigi dan rantai.
Bayangan Vorticelt membongkar muatan kereta yang penuh sepeda tua dan peti-peti kayu seukuran peti mati terbersit dalam pikirannya... selusin peti seperti itu penuh dengan laki-laki pucat dan kurus bersetelan cokelat yang serupa. Natalie mengenyahkan memori itu. Dia memaksa kakinya, mengharuskan mereka melesat cepat.
Jarak bilik kaca kurang dari sembilan meter di belakangnya dan semakin mendekat; persimpangan masih setidaknya satu setengah kilometer di depan. Natalie merasakan sesuatu bergerak-gerak di keranjangnya dan mengulurkan tangan ke belakang untuk memukulkan telapak tangannya ke tutup keranjang sementara bangunan-bangunan setengah-hancur di pinggiran kota Desa Lama mulai berlalu dalam gelap.
Lalu percikan api menghujani lengannya; bilik itu menjulang di atasnya. Ia menyejajarkan diri di samping Chesterlane, dan Acquetus menjulur keluar dari tempat duduknya, jari-jarinya menyentuh kerah baju Natalie sementara kakinya terus mengayuh lebih kencang dari yang mungkin dilakukan manusia. Natalie mengayunkan siku ke belakang dan menyentuh lengan Acquetus hanya karena keberuntungan.
Sekitar 1,2 kilometer lagi, mungkin lebih.
Natalie merasakan jari-jari menyapu bahunya, dan gerakan-gerakan di dalam keranjang. Panik mulai memenuhi perutnya. Dia tak bisa mendahului mereka.
Jari-jari lagi, kali ini di atas kepalanya, mencoba meraih rambutnya. Natalie membanting tubuh, dalam hati memaksa sepedanya agar tetap tegak dan menggigit bibirnya saat merasakan sejumput rambut lepas dari kulit kepalanya. Di sudut matanya dia melihat si badut menyeimbangkan diri di pinggir atap, sosoknya yang mungil meringkuk seperti seekor kucing yang siap menerkam, menahan dirinya dengan mantap saat bilik itu melambung mengenai jalanan yang tidak rata. Ia menangkap pandangan mata Natalie. Lalu, Quinn yang Luar Biasa tersenyum sungguhan, topeng bercatnya merekah di bibir saat mulut merah mudanya membentuk seringai bak hantu yang penuh ancaman dan porselen yang runtuh.
Ia hendak melompat

**

Jack berjongkok di samping kursi yang terguling dan berkata ke tubuh di bawahnya.
“Sudah kubilang, kan? Bukankah kubilang kau salah menilai tempat ini?” Dia mengangkat kursi itu dengan mudahnya dengan satu tangan dan melemparkannya ke samping. Kursi itu mengenai lemari penuh spesimen, membuat serpihan kaca dan fragmen tempurung kepala berhamburan ke mana-mana. “Bukankah aku bilang begitu?”
Tubuh tak bernyawa Jake Limberleg terkapar, terpuntir. Lengannya terhampar di sudut yang aneh dan mustahil dari tubuhnya. Wajahnya sebagian besar tertutupi daun penutup jendela yang terjatuh, tapi bagian yang bisa terlihat sama berwarna gading berdebu seperti sarung tangannya... kecuali tanda tercekik ungu di sekeliling lehernya. Mulutnya mengkerut kesakitan.
“Aku menyesal harus melihatmu seperti ini, Bocah (lad),” gumam si pengembara. “Seandainya kita bisa saling bertemu secara langsung.”
Dia melangkah melewati mayat itu dan meraih empat pot bunga kecil di sudut. Satu per satu dia membalikkannya. Seringai riangnya meredup, mata pucarnya mengeras menjadi bongkahan zamrud bergerigi.
Tentu saja, para Suri Teladan bermekanisme kerja jam itu telah lenyap.
Jack mendesis, geraman marah merembes dari giginya yang gemeretuk. Dia menyambar satu figur yang tersisa: si dokter, yang tangan miniaturnya dengan sarung tangan mutiaranya telah terjulur di atas pot-pot bunga seolah menjadi konduktor sang Empat dengan instrumen mereka.
Tubuh Jake Limberleg—tubuhnya yang sebenarnya—terayun sendiri bangkit dari bawah puing-puing.
Si pengembara menjerit dan terjengkang ke belakang. Si dokter, atau tangannya, dengan jari-jari tangannya yang bersendi banyak dan berbuku jari roda gigi menonkol dari keliman sarung tangan kulitnya yang terkoyak, menyambarnya, lengannya memukul-mukul dari arah yang ganjil dan tidak ada hubungannya. Bibirnya menggeram di giginya yang patah. Matanya menonjol, buta dan merah.
Jack susah payah berjuang dengan bersandar ke sikunya menerobos reruntuhan. Tangan-tangan iblis menyeret tubuh Limberleg melintasi lantai mengejarnya. Giginya yang patah terbuka, dan rentetan suara tercekik nyaris tak bisa dikenali ketika kata-kata meluncur keluar dari bibir yang mengerut.
“Itu... bukan... untuk... mu!”
Sekonyong-konyong, Jack tak bisa pergi kemana-mana lagi. Kursi, lemari, dan dinding terhempas mengenai punggungnya, satu demi satu. Mayat Limberleg yang menjijikkan menaunginya, jari-jarinya yang berkedut-kedut hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.
“Itu... bukan... untuk... mu!”
Jack bergeming. “Kenapa... kenapa begitu?”
Pintu kereta terbuka. Simon Coffrett berdiri di ambang pintu.
“Karena dia tidak bisa dipaksa membelot. Bahkan yang mati pun boleh memilih.”
Jack membuka mulutnya, tapi sebelum sempat bicara, Simon melangkah maju dan mencomot dokter bermekanisme kerja jam dari tangannya. Secara si pengembara secara insting meraih benda yang diambil darinya, Simon coffrett menoleh ke makhluk yang pernah menjadi Jake Limberleg.
“Pilihlah,” perintahnya.
Sesaat, si mati, mata merah yang dulu pernah menjadi dr. Jasper Bellinspire mengilat penuh rasa terima kasih.
“Pilihannya sudah dibuat,” kata Simon Coffrett. “Maaf, Jack.” Sebaris lidah api biru menyembur seperti air mancur dari telapak tangannya. Di tengah barisan, otomat berbentuk Jake Limberleg itu terbakar.
Lalu, tubuh Limberleg rubuh dengan wajah menghadap lantai, sekali lagi tak bernyawa dan bergeming.
Si pengembara susah payah menghindar. Simon menggoyangkan tangannya sisa-sisa otomat itu: segundukan debu panas dan beberapa potong mesin bermekanisme kerja jam yang melambung dan berguling bergabung dengan puing-puing lainnya.
“Beberapa hal tak bisa dicuri, dan bukan kau saja yang bisa berunding dengan pembelot.”
Si pengembara menyeringai. “Aku penasaran bagaimana dia melakukan perjanjian denganmu, Pelompat.” Lalu, senyumnya lenyap. “Bagaimana kau tahu namaku?”
“Aku sudah beredar/hidup/melanglang lebih lama darimu. Aku melihat lebih banyak darimu, aku mendengar lebih banyak darimu, dan aku memiliki banyak waktu untuk melepaskan keangkuhan yang kuduga melekat pada dirimu.” Simon melangkah mundurr, keluar dari kereta dan memasuki pekan raya yang gelap. “Tapi, kau benar tentang satu hal: Limberleg tidak menilai tempat ini dengan benar. Masalahnya adalah, Jack, kurasa kau juga tidak. Keluarlah dari kotaku. Lakukan kegiatan merekrutmu di tempat lain.”
Mata Jack menyipit hingga setipis tepi pisau. “Kotamu?
Di antara kekelaman pekan raya, Simon Coffrett membalikkan badan untuk menghadap si pengembara. Tanpa ada perubahan dalam cahaya, tiba-tiba saja dia tampak menonjol, khas, dari kemuraman dan kegelapan di belakangnya. Seolah seseorang menarik garis di seputar tubuhnya, dengan pensil sehitam arang, atau mewarnai sisa dunia lainnya dengan lapisan bayangan tambahan yang membuat Simon entah bagaimana bukannya lebih terang melainkan lebih jernih.
“Kota. Ku.” Simon mengucapkan kata-lata itu seperti peluru. Dia tersenyum, seutas seringai yang menyiratkan geraman.
Jack balas menyeringai, ------- gigi dan kegusaran yang membuat wajahnya menjadi tampak seperti monster, dan mengucapkan responsnya dengan nada peringatan yang sama. “Untuk saat ini.”
“Selamanya.” Simon membalikkan tubuh menuju pintu masuk pekan raya.
“Jangan berani-beraninya kau,” bentak si pengembaran, “membalikkan tubuh dariku! Apa kau tahu siapa aku?” Tegang dengan amarah, dia menghambur ke pintu kereta yang hancur dan mencengkeram rangkanya kuat-kuat sampai tangannya memecahkan kayu yang berpernis. “Kalau kau tahu siapa aku, Pelompat, kau pasti takut. Atau mungkin kau sudah belajar cara menyembunyikannya. Kau harus merasa takut!
Simon menepiskan abu terakhir dari telapak tangannya saat berjalan pergi. “Keluar dari sini, jika kau tidak mau terbakar bersamanya.”


***

Natalie mengawasi si badut sementara melaju melintasi Desa Lama. Giring-giringnya memantulkan kilatan cahaya yang aneh saat ia menyeimbangkan tubuh di pinggi bilik kaca yang melengkung, menunnggu saat yang tepat untuk meloncat. Bagaimana mungkin Natalie bisa melawannya? Rasa takut yang dalam dan membara merayap di tenggorokannya.
Dad tidak akan bangga jika aku mati di atas sepeda, pikirnya.
Si badut membungkuk, hendak melompat.
Di sana!
Seberkas kegelapan hampa terbuka di sebelah kanannya. Natalie membelok, langsung keluar dari jalan besar dan memasuki daerah yang sempit di antara dia rumah yang ambruk. Dia mengulurkan tangan ke depan dan mematikan lampunya, lalu membelokkan sepedanya lagi dan bersepeda sejajar dengan jalan besar, di belakang barisan rumah-rumah. Setangnya sekarang jadi lebih mudah; alih-alih hanya memberontak heboh, rangka berengsel Chesterlane ini benar-benar mulai terasa responsif terhadap petunjuk sekecil apa pun yang diberikan Natalie.
Di dalam kegelapan yang mendadak, Natalie menabrak sepetak batu yang sempal. Rodanya bergoyang dan menyelip, membuat kerikil-kerikil berhamburan dan menimbulkan awan debu yang bisa dia rasakan tapi tak bisa dilihat, menggemeretakkan giginya dan menggoyangkan tangannya dengan sangat kencang sehingga terasa kebas di setangnya. Tapi entah bagaimana, sepeda itu tetap berdiri tegak.
Dari jalan besar, lampu terang Bilik Terapi Batu Amber menimbulkan siluet mengerikan di antara sisa-sisa rumah-rumah. Natalie menghambur keluar dan masuk berpetak-petak yang gelap, menghindari puing-puing dan fondasi-fondasi yang runtuh. Sebisa mungkin dia tetap berada di dekat reruntuhan sehingga dia tidak terlalu dekat dengan palung tua yang terletak di suatu tempat di tengah kegelapan sebelah kanannya.

halaman 345
halaman 347

Kaki Natalie mengayuh dengan kencang sekali, tapi telapak tangan kanannya melepaskan setangnya, dan Natalie mengulurkan tangan ke samping, berharap dengan sepenuh hati agar puing-puing dan luka-luka dan gang yang sudah familier itu bangun menyongsong... Dia menyondongkan tubuh sedikit lebih jauh, dan satu roda menggelincir...
Natalie membenarkan duduknya dengan miring. Rasanya begitu alami, malah kelihatannya tidak membutuhkan keputusan alam sadar. Hampir seperti Chesterlane-nya kini sama bertekadnya agar Natalie tetap tegak seperti sebelumnya yang terus melemparkan dirinya.
Lalu, sekonyong-konyong untuk sesaat Natalie meluncur ke udara, melintasi serambi belakang yang lapuk berkat kayu yang membentuk jalanan melandai yang cukup besar dan tinggi untuk membantunya terguling. Dia mendarat ringan, kokoh dan pasti, dan untuk sesaat terlupa bahaya yang sedang dihadapinya. Dulu biasanya bersepeda sepertiini—tidak ada rintangan menghalangi jalanmu, tidak ada kesulitan geografis yang bisa menahanmu. Kayuhlah dengan kuat, dan kau mungkin akan meninggalkan daratan, seperti Wilbur dan Orville. Kau mungkin jatuh, tapi kadang, oh, sungguh, kadang, kau terbang.
Natalie sudah tamat dengan jatuh.
Dia melirik ke sisa-sisa bangunan dan melihat guratan sosok si badut, nyaris sejajar dengan dirinya dan semakin dekat. Di depan sana terdapat fasad lebar dan besar istal sewaan tua Pabrik Pedagang. Jika si badut tiba di sana lebih dulu darinya, Natalie harus lewat di bawahnya agar bisa membelok sehingga dia bisa kembali ke persimbangan. Dia akan menjadi target yang mudah.
Setengah kepala kelelahan, Natalie mendorong sepedanya kuat-kuat sekali lagi, satu lagi kesempatan untuk menunjukkan kemampuan benda itu.
“Ayo,” desisnya dari gigi yang tertutup rapat, “satu-satunya cara sekarang adalah melaju lebih cepat dari mereka semua.”
Sepeda merah itu melaju maju, dengan lutut Natalie yang berdenyut-denyut dan kaki kebas mengayuh terus.
Di jalan besar, kotak kaca melambat lagi, sumpah serapah Nervine melengking menembus malam. Si badut bergegas ke atas atap istal sewaan, nyaris terbang, melentur di jalur tabrakan dengan tempat sepeda yang harus...
Di menit-menit terakhir, Natalie membelokkan sepedanya tajam ke kiri, mengarah ke tempat yang dia harap merupakan secercah bukaan di fasad istal. Kerikil dan tanah mengepul dari bawah rodanya saat dia melewati tanah tempat bangunan itu dulu berada. Dia menjerit dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari tabrakan seandainya dia keliru... dan menerobos pintu istal dengan nyaris anggun, dan tiba kembali di jalan besar yang hanya berjarak beberapa meter dari persimpangan.
Dia memutar dan berhenti dengan cantik dan berbelok tepat waktu untuk melihat si badut, amat sangat bingung dengan kemunculannya menembus fasad alih-alih memutarinya di mana telah ia rencanakan pencegatan di sana. Ia menggelepar di tengah udara seperti seekor ikan yang kehabisan air, tangannya melambai-lambai tak berguna saat memukul-mukul sisa-sisa panel jendela toko kelontong dalam semburan (spray?) kaca yang pecah dan serpihan porselen berwarna putih tulang. Sang Empat di mesin listrik mereka yang berkedip-kedip masih lebih dari delapan belas meter jauhnya.
Natalie mengangkat tangan kirinya hati-hati menjauh dari setang, pelan-pelan agar benda berharga di telapak tangannya tidak bisa menggelinding dan lenyap ke dalam debu dan kegelapan. Koin itu masih di sana, menekan ke kulitnya. Natalie menghirup napas penuh pertamanya yang dia hirup seperti selama seminggu, dan menghadap ke persimpangan.

**

Sebuah pemandangan mengerikan menanti Simon Coffrett di pintu masuk menuju pekan raya. Di jalanan di hadapannya, sosok-sosok terhuyung-huyung dan sempoyongan. Sebagian merangkak.
Di samping palung air tua di bawah semak-semak dekat bagian depan kaveling, sekelompok orang dewasa dan satu gadis menunggu.
Apa yang telah kau lakukan?” desak Mr. Swifte, menjulang di antara yang lainnya.
Simon menekuk jarinya di sekeliling noda abu di telapak tangannya. “Tunggu dan saksikan.”
“Aku beri tahu kau, Natalie Minks sedang dalam perjalanan menuju persimpangan,” kata Tom Guyot pelan. “Jika terjadi sesuatu pada gadis itu, Simon, aku akan menggedor pintumu.”
Simon Coffrett menyunggingkan senyuman yang jelek dan sedih yang malah membuat hati Tom hancur. “Segalanya akan terjadi pada gadis itu, Tom. Kau tahu sebaik aku. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikannya.”
Tom Tua tidak menjawab, hanya membalikkan badan dan menghapus jejak roda Natalie. Chester Teufels muncul dari kegelapan dan melangkah ke sampingnya.
“Kenapa?” Semuanya menoleh ke Miranda Porter saat dia melangkah malu-malu ke depan kelompok kecil ini. “Apa yang akan terjadi pada Natalie?”
“Ah, Miranda... Begitu banyak, sehingga aku tak bisa memperkirakannya. Ini adalah...” Simon melambaikan tangan seolah untuk menyingkirkan pekan raya, gingerfoot, dan apa pun yang terjadi pada Natalie dalam perjalanannya menuju persimpangan menjadi nihil.
“Tapi kenapa?
“Karena tempat di tengah adalah haknya sejak lahir. Kau tahu apa itu hak sejak lahir? Yaitu sebuah warisan.” Dia menengadah melirik orang-orang di belakang Miranda: Edgar Tilden, Lester Finch, Christopher Swifte, Wiley Maliverny... dan puluhan penduduk kota yang terhuyung-huyung dan tak berdaya di jalan-jalan Arcane. “Kalian semua tahu apa itu artinya. Dr. Fitzwater sudah mengetahuinya berminggu-minggu lalu. Annie Minks sakit sebelum kekacauan ini dimulai. Natalie sudah mulai melihat. Hantu-hantu sudah mulai melewatinya. Ini akan menjadi pertarungannya, dan jangan keliru, ini bahkan belum menjadi awal dari pertarungan yang kumaksud.”
“Jika dia berhasil melalui malam ini,” kat Mr. Tilden dengan dingin. “Tidak ada hak sejak lahir yang menjamin itu.”
“Tidak, memang tidak ada. Itu tergantung sepenuhnya padanya. Tapi ada yang cukup pasti: segalanya bergerak.”
“Dia akan melakukannya,” teriak Tom dari agak jauh dari jalan. “Dan bukan karena hak sejak lahir! Tidak ada yang lebih berani di kota ini dari gadis itu!”
“Tunggu dan saksikan,” gumam Simon.

**

Jika ada yang tidak dirasakan Natalie pada saat itu adalah keberanian. Bahkan, dia kira dia akan muntah.
Api berlidah biru menyala di tempat kedua jalan itu bertemu. Dia turun dari sepeda. Seorang laki-laki yang tak pernah dilihatnya melangkah maju. Jangkrik-jangkrik tiba-tiba bernyanyi, seolah mereka tidak pernah ada pada awalnya. Natalie tahu dia sedang menatap sang Iblis.
“Halo, Natalie Minks.”
Namanya sendiri, diucapkan dengan suara itu, membuat Natalie langsung berhenti. Bulu romanya merinding di seluruh tubuhnya yang berkeringat dalam gelombang dingin, membuatnya gemetaran. Dia tidak mendongak, hanya mengulurkan tangannya yang gemetaran untuk melepas ikatan keranjang tempatnya mengungkung para otomat. Jantungnya berdentam-dentam; dia belum sempat memikirkan mereka sejak berbelok dari jalan besar. Bagaimana kalau mereka jatuh? Bagaimana kalau mereka berhasil melarikan diri?
“Itu sepeda yang sangat cantik.”
Benda-benda bermekanisme kerja jam bergerak-gerak gelisah saat dia mengeluarkan mereka. Satu... dua... tiga... empat...
“Dan sudah pasti cepat sekali.”
Bilik Terapi Batu Amber berhenti mendecit beberapa meter dari api unggun. Bayangan-bayangan bergerigi terbersit oleh bilik yang bersinar dan api biru menghiasi persimpangan dalam bentuk yang lebih aneh. Natalie memegang figur-figur bermekanisme kerja jam itu dengan erat. Ini tidak akan berjalan dengan mudah. Rasa takut merayap naik dan turun punggungnya. Dia memaksa diri untuk mengingat alasannya berada di sini. Untuk menyelamatkan Mama. Untuk menyelamatkan Charlie. Untuk menyelamatkan semua orang.
“Apakah kau mau memiliki sepeda tercepat yang pernah ada? Selamanya?” Si Iblis tersenyum menawan, api biru memantul di matanya dan membuat keduanya lenyap. “Biarkan aku memegang sepeda itu, biarkan aku berputar satu kali dengan mengendarainya. Saat kau mengambilnya kembali dariku, sepeda itu akan terbang.”
Satu per satu sang Empat turun dari bilik kaca. Para otomat bergerak-gerak dalam pelukannya. Bukannya Natalie memiliki keingininan untuk menyepakati apa punyang ditawarkan makhluk di seberang nyala api ini, melainkan dia tidak tahu bagaimana mulai menolaknya. Untuk sesaat dia hanya bisa memikirkan bahwa ini tidaklah adil, bahwa dia hanya seorang gadis cilik, bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengharapkan seorang gadis cilik berhadapan dengan sang Iblis.
Lalu, selama sesaat, dia lupa bahwa sang Iblis ada di sana. Jika ada orang yang menyebutnya hanya seorang gadis cilik, dia pasti akan mengomelinya habis-habisan.
Sesuatu yang berdebar-debar di dadanya semakin kuat, dan sesuatu yang selama ini amat, sangat kencang/erat mengendur sedikit.
Ketika aku pulang, putusnya, aku akan memberi tahu Mama apa yang terjadi dan pasti akan jadi cerita yang hebat.
Laki-laki di seberang api unggun mengangkat tangan saat menunggu jawabannya. Sang Empat berhenti berjalan, mengawasi Natalie dengan benci.
“Sepeda itu sudah terbang,” kata Natalie, karena ketika dia pulang dan memberi tahu ibunya, dia ingin bilang sudah mengatakan sesuatu yang berani. “Aku terbang kemari, apa kau tidak lihat?”
Makhluk di seberang api ungguh tidak suka diabaikan, tapi dia lebih tidak suka dijawab oleh seorang gadis tiga belas tahun. Ketika bicara lagi, suaranya muncul tepat dari samping Natalie dan mengandung nada baru yang kasar.
“Bagaimana kau tahu siapa diriku?”
Mencengkeram miniatur Nervine yang berambut tajam dan Vorticelt mini bermata tajam di satu lengan; Acquetus yang berambut palsu dan Argonault yang botak dan bertato di lengan yang satu; serta koin Tom Tua erat-erat di kepalannya, Natalie akhirnya mendongak dan merasakan matanya melirik lepas sosok di depannya seperti batu yang menyentuh lepas air. Rasa takut begitu kuat di perutnya. Tatap dia di wajahnya, seperti Tom, dia menyuruh dirinya sendiri. Beranilah seperti Tom.
“Aku tahu siapa kau,” katanya. Menengadahlah.
Dia berdiri di antara Natalie dan api biru. “Kalau begitu, siapakah aku?”
“Kau kolektor tangan,” kata Natalie, karena itu kedengarannya seperti kalimat yang akan dikatakan seorang gadis berani di cerita yang bagus, dan karena dia tidak merasa berani sama sekali. “Kau penjudi jiwa. Kau adalah gingerfoot, dan kau jahat. Kau bisa melakukan apa saja selama itu sinting.” Menengadahlah... Bahkan suara di kepalanya terdengar lirih dan lemah dan takut.
Sang Iblis menunduk menatapnya, api biru berkelip-kelip di belakangnya. Sang Empat menanti, persis di luar lingkaran api. Jantung Natalie berdenyut pelan dan dingin. Suara lirih di kepalanya yang mendesaknya berani kini menangis. Dalam sekejap dia akan membeku, seperti Miss Tillerman, terperangkap oleh gingerfoot dan tak bertenaga. Tanpa daya, masih memegangi koin itu erat-erat, dan dengan miniatur sang Empat tergenggam dalam pelukannya, Natalie mengangkat satu tangan dengan canggung ke tempat gigi jentera berhantung dari senar gitar di sekeliling lehernya dan memutarnya di jari.
Lalu, tanpa tanda-tanda dari mana asalnya, Natalie mendengar musik. Itu adalah musik Tom, musik yang tak akan kau ketahui bisa berasal dari sebuahu gitar seandainya kau belum pernah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri.
Natalie mendongakkan mata ke sang Iblis dan menatapnya.
Oh...
“Aku tahu siapa kau, dan aku tahu alasanmu berada di sini.” Tatapan itu seperti tatapan Vorticelt, tapi jauh lebih buruk. Tatapannya membuatnya mual, pusing, ngeri. Tatapannya menyakiti kepala dan jantungnya, dan membuat suaranya tersekat di lidah, tapi dia memaksa dirinya untuk meneruskan. “Kau tidak berada di sini untukku. Kau berutang satu pertolongan pada Tom Guyot, dan aku berada di sini untuk memberitahumu apa pertolongan itu.” Dia menelan ludah dengan berat. “Lepaskan (undo) gingerfoot. Semuanya. Segalanya kembali seperti semula.”
Kesenyapan yang menyengat terbentang di antara mereka.
“Semuanya?” tanya sang Iblis pelan.
Tiba-tiba, mata yang begitu keras Natalie coba pandang berubah menjadi mata ibunya, dan pandangan periferalnya membajir seketika sehingga untuk sesaaat sang Iblis lenyap dan Natalie melihat ibunya, kurus dan pucat di ranjangnya. Musik yang begitu mirip dengan musik Tom berhenti seolah-olah itu tak lebih dari piringan hitam saja, dan Natalie mendengar suara lolos mengerikan itu lagi... ---------------.
“Mama,” dia tercekat.
Tak ada seorang pun memberitahunya penyebab ibunya sakit, atau seberapa gawatnya. Dia tidak tahu apa itu artinya jika dia menjawab ya sekarang: Ya, kembalikan semuanya ke semula, bahkan ibuku, kembali ke asalnya juga. Dia tahu apa artinya jika dia mundur. Dia teringat Mrs. Byron di jalanan, menyeret tubuh tak bergunanya yangberat dengan tangannya hingga tangan itu menjadi tak berguna juga. Natalie tak bisa membiarkan ibunya diubah menjadi boneka. Bahkan ketika dia tidak yakin apa pilihan lainnya.
Tapi bagaimana mungkin dia menghadapi makhluk ini?
Suara Mr. Minks membahana dalam ingatan Natalie, menceritakan kisah Tom Guyot, gitar timahnya, dan tangan manusia yang dimilikinya sejak lahir. Seandainya ini merupakan lagu terakhir yang akan mereka semua mainkan bersama, sebaiknya mereka menjadikan itu sebuah lagi yang sepadan dengan kematian.
Natalie mengernyit, memaksa dirinya menatap hingga mata ibunya melebur kembali ke dalam wajah sang Iblis.
Aku akan menjadikan kisah ini sepadan dengan kematian, pikirnya dengan sungguh-sungguh. Seandainya ini akan menjadi cerita terakhir yang didengar Mama, aku akan menjadikannya cerita terhebat yang pernah ada. Dan aku juga akan membawanya pulang untuk menceritakannya padanya.
Jantung berdentam-dentam di dada, Natalie Minks melangkah memutari sang Iblis menuju api biru dan, satu per satu, melemparkan otomat itu ke sana.
halaman 355